Jumat, 17 April 2009

sunti mati mati

Euthanasia
One of my favorite topics: Euthanasia.
Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang disengaja, dengan aksi atau dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang seharusnya didapatkan oleh pasien, agar pasien tersebut dapat meninggal secara wajar. Kata kuncinya adalah disengaja, artinya jika aksi tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, maka hal tersebut bukanlah euthanasia.
Aksi ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama kali adalah di negara Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara hukum menyetujui euthanasia. Meskipun begitu, aksi tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan berbagai perhitungan terlebih dahulu.
Ada berbagai macam jenis euthanasia menurut cara melakukannya serta alasan diberlakukan euthanasia itu sendiri, anatara lain:
1. Euthanasia sukarela
Apabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya.
2. Euthanasia non-sukarela
Apabila pesien tersebut tidak mengajukan permintaan atau menyetujui untuk diakhiri hidupnhnya.
3. Involuntary Euthanasia
Pada prinsipnya sama seperti euthanasia non-sukarela, tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi.
4. Assisted suicide
Atau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut juga, “physician assisted suicide”.
5. Euthanasia dengan aksi
Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan suntik mati.
6. Euthanasia dengan penghilangan
Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan menghentikan semua perawatan khusus yang dibutuhkan seorang pasien. Tujuannya adalah agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar.
Dari beberapa macam jenis euthanasia tersebut, masing-masing negara memiliki idealisme sendiri dalam hal melegalkan aksi euthanasia. Beberapa negara bahkan telah melegalkan aksi euthanasia dengan suntik mati, namun di negara-negara lain hal tersebut adalah melanggar hukum.

Alasan Dilakukan Euthanasia
Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang. Karena itu dilakukannya aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari beberapa survey negara dan penyaringan sumber, berikut adalah tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan:
1. Rasa Sakit yang Tidak Tertahankan
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penemuan semakin gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung menyebabkan presentase terjadinya “assisted suicide” berkurang.
Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stress yang disebabkan oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yang dinamakan “drugged state” atau suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karena pengaruh obat.
Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut memang bisa dilakukan dengan mengirim seseorang ke keadaan tanpa rasa sakit, tapi mereka tetap harus di-euthanasia-kan karena cara tersebut tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit bisa dihilangkan, adapun yang sudah sebegitu parah bisa dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik. Tapi euthanasia bukalah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik untuk masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan dengan menginformasikan pada setiap pasien, apa saja hak-hak mereka sebagai seorang pasien.
Meskipun begitu, beberapa dokter tidak dibekali dengan “pain management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit, sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit yang luar biasa. Jika hal ini terjadi, hendaklah pasien tersebut mencari doketr lain. Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu, bukan yang akan membunuh sang pasien. Ada banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang, namun juga dapat mengatasi depresi dan penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.
2. Hak untuk Melakukan Bunuh Diri
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangkat hal paling dasar dari semuanya, yaitu “hak”. Tapi jika kita teliti lebih dalam, yang kita bicarakan di sini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang dibunuh, tetapi memberikan hak pada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain, euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati, tetapi hak untuk membunuh.
Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri hidupnya, tapi sebaliknya, ini adalah persoalan mengubah hukum agar dokter, kerabat, atau orang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang.
Manusia memang punya hak untuk bunuh diri, hal seperti itu tidak melanggar hukum. Bunuh diri adalah suatu tragedi, aksi sendiri. Euthanasia bukanlah aksi pribadi, melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi kematian orang lain. Ini bisa mengarah ke suatu tindakan penyiksaan pada akhirnya.
3. Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?
Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien tetap hidup. Desakan, melawan permintaan pasien, menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis.
Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah, bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.
Sejarah Euthanasia
Sekitar tahun 400 sebelum Masehi, sebuah sumpah yang terkenal dengan sebutan “The Hippocratic Oath” yang dinyatakan oleh seorang Fisikawan Hipokratis Yunani, dengan jelas mengatakan:
“Saya tidak akan memberikan obat mematikan pada siapapun, atau menyarankan hal tersebut pada siapapun.”- The Hippocratic Oath
Sekitar abad ke-14 sampai abad ke-20, Hukum Adat Inggris yang dipetik oleh Mahkamah Agung Amerika tahun 1997 dalam pidatonya:
“Lebih jelasnya, selama lebih dari 700 tahun, orang Hukum Adat Amerika Utara telah menghukum atau tidak menyetujui aksi bunuh diri individual ataupun dibantu.” - Chief Justice Rehnquist
Tahun 1920, terbitnya buku berjudul “Permitting the Destruction of Life not Worthy of Life”. Dalam buku ini, Alfred Hoche, M.D., Dosen Psikologi dari Universtas Freiburg, dan Karl Binding, Dosen Hukum dari Universitas Leipzig, memperdebatkan bahwa seorang pasien yang meminta untuk diakhiri hidupnya harus, dibawah pengawasan ketat, dapat memperolehnya dari seorang pekerja medis. Buku ini men-support euthanasia non-sukarela yang dilakukan oleh Nazi Jerman
Tahun 1935, The Euthanasia Society of England, atau Kelompok Euthanasia Inggris, dibentuk sebagai langkah menyetujui euthanasia.
Tahun 1939, Nazi Jerman memberlakukan euthanasia secara non-sukarela. Hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
Tahun 1955, Belanda sebagai negara pertama yang mengeluarkan Undang-Undang yang menyetujui euthanasia, dan diikuti oleh Australia yang melegalkannya di tahun yang sama.
Setelah dua negara itu mengeluarkan undang-undang yang sah tentang euthanasia, beberapa negara masih menganggapnya sebagai konflik, namun ada juga yang ikut mengeluarkan undang-undang yang sama. Hal ini akan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya.
Bagaimana Ilmu Pengetahuan Mendefinisikan Kematian
Sebuah teori yang berbahaya jika kematian dianggap sesuatu yang ambigu. Dan jika suatu telaah massa membuktikan bahwa euthanasia bukanlah musuh masyarakat, melainkan sesuatu yang dapat menyelamatkan seseorang dari penderitaan yang amat sangat.
Menurut penelitian terakhir yang dilakukan oleh Dr. James Dubois dari Universitas Saint Louis dan Tracy Schmidt dari Intermountain Donor Service, hampir 84% dari seluruh warga Amerika setuju dengan pendapat bahwa seseorang dapat dikatakan mati apabila yang membuatnya tetap bernafas adalah obat-obatan dan mesin medis, dan 60% setuju dengan pernyataan bahwa seseorang dapat mati meskipun jantungnya masih berdetak. Dari survey tersebut, 70% dari antaranya berasal dari golongan beragama.
Konsep medis dari “kematian otak” telah berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1968 bersamaan dengan revolusi dari penelitian tentang transplantasi organ tubuh. Seperti dijelaskan oleh M.L. Tina Stevens dalam Bioetik Amerika (2000), semakin maraknya kasus transplantasi organ sebenarnya diawali dari penyumbangan besar secara medis untuk penelitian Biomedis federal sebelum Perang Dunia ke-II. Hasil dari semua itu datang seiring dengan berkembangnya teknologi medis seperti sistem respirasi mekanis, dan genetic screening, semuanya mendatangkan efek pada bentuk obat-obat modern, meningkatkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang hidup dan mati baik untuk pasien maupun dokter.
“Transplantasi adalah contoh klasik dari investigasi therapeutic,” begitu kata Thomas Starzl, seorang ahli bedah transplantasi. “Apa yang dilakukan dalam transplantasi jaman dulu kadang-kadang terbilang bodoh tapi tidak hina.” Yang mendorong para perintis bedah transplantasi ini adalah satu keinginan untuk tidak meninggalkan satu tempat pun untuk eksperimen yang tidak dicoba.
Pada awalnya, bedah transplantasi tidak berhasil dengan tujuannya untuk memindahkan organ tubuh dari pasien yang telah meninggal ke pasien yang masih hidup. Tapi beberapa dokter percaya mereka bisa mendapatkan organ yang bisa ditransplantasi dari orang mati suri, yang masih dikatakan hidup sampai waktu tertentu dalam standar medis. Kematian otak, menawarakan solusi yang memungkinkan. Juga menyebabkan sebuah perubahan dalam pemikiran tentang hukum kematian.
Nazi Euthanasia
Pada bulan Oktober tahun 1939, ditengah-tengah kekacauan Perang Dunia ke-II, Hitler memerintahkan ke seluruh wilayah jajahannya untuk membunuh orang-orang yang menderita sakit atau cacat.
Dengan kode “Aktion T 4″, program Nazi Euthanasia adalah untuk menghilangkan keberadaan “orang-orang yang tidak pantas untuk hidup lagi”. Pada awalnya hanya difokuskan pada bayi yang baru lahir dan anak-anak yang masih sangat kecil. Para dokter dan ibu rumah tangga diperintahkan untuk mendaftarkan anak-anak dibawah tiga tahun kepada pemerintah Jerman. Kemudian, keputusan untuk membiarkan anak tersebut hidup atau tidak diambil oleh tiga ahlis medis tanpa pemeriksaan maupun memperhatikan hasil kesehatan anak tersebut.
Tiap ahli medis menambah tanda (+) dengan pensil merah atau tanda (-) dengan pensil biru di setiap lembar kasus para anak-anak tersebut. Tanda (+) merah berarti keputusan untuk membunuh anak tersebut, dan tanda (-) biru berarti keputusan untuk membiarkannya hidup. Jika tiga tanda (+) merah telah dikeluarkan, maka anak tersebut akan dikirim ke Departemen Khusus Anak di mana mereka akan menerima kematian dengan suntik mati atau dengan cara dibiarkan mati kelaparan.
Program Nazi Euthanasia akhirnya berkembang dengan menyertakan anak-anak yang lebih tua yang memiliki cacat juga para orang dewasa. Putusan Hitler pada bulan Oktober 1939, menyatakan “pemberian hak untuk para ahli medis tertentu untuk memberikan euthanasia pada orang-orang yang tidak dapat disembuhkan lagi.” Putusan tersebut disebarkan ke seluruh rumah sakit dan tempat medis lainnya.
Sejumlah enam tempat pembunuhan telah ditentukan, termasuk sebuah gedung klinik psikiatri yang terkenal di Hadamar. Di Bradenburg, tempat yang dulunya adalah sebuah penjara, dirubah menjadi tempat pembunuhan di mana Nazi melakukan eksperimen pertamanya dengan gas beracun. Di dalamnya terdapat kamar gas yang terhubung dengan pipa karbon monoksida beracun yang akan menewaskan orang di dalamnya.
Pasien-pasien yang akan menerima euthanasia dibius terlebih dahulu sebelum ditelanjangi dan dimasukkan ke dalam kamar gas. Setiap tempat pembunuhan tersebut dilengkapi dengan krematorium di mana mayat-mayat dari kamar gas akan dibuang. Pihak keluarga akhirnya datang dan mengambil sendiri tubuh anggota keluarganya yang sudah tak bernyawa.
Sebagai hasilnya, pada tanggal 23 Agustus, Hitler menghentikan “Aktion T 4″, yang telah mengambil nyawa ratusan ribu orang. Namun bagaimanapun juga, program Nazi euthanasia secara diam-diam terus berlanjut, tapi bukan dengan menggunakan gas beracun, melainkan dengan menggunakan obat-obat dan dibiarkan kelaparan.
Tempat-tempat pembunuhan tersebut akhirnya dijadikan sebagai tempat eksperimen bagi para ahli medis. Mereka menggunakan keahlian dan pengetahuan mereka untuk membangun tempat pembunuhan baru di Auschwitz, Treblinka dan tempat-tempat pusat jajahan dengan tujuan untuk menghabisi seluruh orang Yahudi yang ada di Eropa. Sebagai contoh, di negara Polandia, salah satu negara yang paling merasakan penderitaan saat kedatangan Nazi Jerman. Negara tersebut pada awalnya memiliki sekitar 700.000 penduduknya yang merupakan orang Yahudi. Namun setelah Nazi datang, dan melakukan pendudukan besar-besaran, jumlah orang Yahudi di sana yang bertahan hanya sekitar 10.000 orang.
Euthanasia Sama dengan Aborsi
Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa negara.
Dalam diskusi-diskusi tentang masalah euthanasia dan aborsi, kini prinsip kesucian kehidupan mulai dikritik. Nama-nama yang terkenal di antara kritisi itu adalah Peter Singer dan Helga Kuhse, dan etikawan terkemuka di Australia. Mereka berpendapat, faham kesucian kehidupan berasal dari suasana pemikiran moral Kristen dan karena itu tidak boleh diberlakukan untuk semua orang. Di tengah berlangsungnya sekularisasi kini, pengaruh agama Kristen sebagai pegangan moral makin berkurang dan makin banyak orang menempuh alur pemikiran moral yang lain.
Dalam bukunya Practical Ethics (edisi ke-2, 1993, hlm 173) Peter Singer menandaskan, “the doctrine of the sanctity of human life… is a product of Christianity. Perhaps it is now possible to think about these issues without assumsing the Christian moral framework that has, for so long, prevented any fundamental reassessment”. Peter Singer sendiri menerapkan pendapat ini bukan saja atas masalah euthanasia dan aborsi, namun juga dalam anggapannya yang amat kontroversial tentang kemungkinan mengakhiri kehidupan bayi cacat berat yang baru lahir. Dengan demikian ia memperluas diskusi tentang masalah aborsi sampai ke infanticide (pembunuhan anak kecil), yang dalam masyarakat pra-Kristen-Yunani Kuno dan kekaisaran Roma, umpamanya-memang sering dipraktikkan.
Dalam tulisan ini tentu tidak mungkin membahas topik ini sampai tuntas. Kita akan membatasi diri pada beberapa catatan saja.
Pertama, benar agama Kristen merasa dirinya tertarik dengan pengertian “kesucian kehidupan”. Dan hal itu tidak berlaku untuk agama Kristen saja tetapi untuk agama umumnya dan khususnya untuk ketiga agama “Ibrahimik”: Jahudi-Kristiani-Islam. Mengapa begitu? Karena agama-agama ini mempunyai konsepsi jelas tentang kehidupan yang diciptakan Tuhan dan kedudukan istimewa manusia di antara makhluk-makhluk hidup yang lain. Tidak bisa dipungkiri, pandangan agama amat cocok dengan “kesucian kehidupan”.
Kedua, barangkali benar agama juga ikut menciptakan faham “kesucian kehidupan” ini, dan membantu memperkuat posisinya dalam pandangan moral. Tetapi dalam hal ini kontribusi agama tidak bisa dipisahkan dari pengaruh-pengaruh lain. Kemungkinan besar, agama memberi kontribusi juga dalam penolakan lembaga perbudakan, dalam pengembangan hak asasi manusia dan demokrasi, dan dalam banyak hal lain lagi. Pandangan moral kita kini di bidang sosial-politik merupakan buah perkembangan panjang, di mana antara lain agama berperanan juga.
Ketiga dan terpenting, rupanya khusus dalam etika profesi medis pengertian “kesucian kehidupan” mempunyai akar lebih mendalam daripada agama Kristen saja. Pengertian ini sudah terbentuk sejak permulaan pertama etika profesi medis, yaitu Sumpah Hippokrates. Hippokrates (abad ke-5/ke-4 SM) yang dijuluki “bapak ilmu kedokteran” bukan saja memberi dasar ilmiah kepada profesi kedokteran, namun juga menyediakan pandangan moral yang teguh bagi profesi ini. Melalui Sumpah Hippokrates ia membuat profesi medis menjadi profesi pertama yang memiliki suatu ethos khusus. Dalam Sumpah Hippokrates ada tiga kalimat pendek, “Aku tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun bila orang memintanya, dan juga tidak akan menyarankan hal serupa itu. Demikian juga aku tidak akan memberikan kepada seorang wanita sarana abortif (pesson phthoron). Dalam kemurnian dan kesucian akan kujaga kehidupan dan seniku”.
Tiga kalimat pendek ini bisa dilihat sebagai awal tradisi anti-euthanasia dan anti-aborsi dalam ethos profesi medis. Euthanasia dalam arti kini tentu belum lama dikenal. Tetapi larangan untuk memberi racun telah mengembangkan tradisi anti-pembunuhan dalam profesi kedokteran. Menurut hakikatnya, profesi ini harus memperjuangkan kehidupan dan tidak pernah memihak kematian. Sebaliknya, praktik aborsi sudah dikenal sepanjang sejarah. Dalam masyarakat Yunani kuno sekitar Hippokrates aborsi malah diterima sebagai hal lumrah. Tetapi, sejak Hippokrates profesi medis mengembangkan suatu sikap anti-aborsi yang berlangsung terus sampai zaman modern.
Faham “kesucian kehidupan” itu sendiri belum ditemukan dalam sumpah Hippokrates. Tetapi, bila kalimat ketiga tadi langsung boleh dikaitkan dengan kalimat pertama dan kedua, maka “kemurnian dan kesucian” profesi medis itu berhubungan dengan hormat atas kehidupan yang diperintahkan kalimat pertama dan kedua. Kalau begitu, “kesucian kehidupan” adalah faham yang mudah bisa muncul.
Ada tanda-tanda lain lagi yang menunjukkan kuatnya tradisi kesucian kehidupan. Jika anjing kita sakit dan tidak bisa disembuhkan, tanpa ragu-ragu kita menganggap lebih baik membunuhnya. Hal itu sudah dipraktikkan. Yang baru hanya bahwa kini kita memakai jasa dokter hewan. Hewan kita bunuh untuk membebaskannya dari penderitaan. Tetapi, kalau manusia, biar pun penderitaannya besar, menurut penilaian umum cara ini tidak boleh dipakai. Perbedaan ini cukup mencolok dan berlaku secara universal. Bagi manusia tidak ada mercy killing seperti bagi hewan. Memang benar, dalam sejarah ditemukan beberapa pengecualian.
Contoh dikenal adalah beberapa kelompok Eskimo yang mempunyai kebiasaan membunuh orang tua, jika mereka mulai menginjak usia tua dan memperlihatkan gejala kelemahan atau penyakit. Tetapi dalam seluruh peradaban manusia contoh-contoh seperti itu sedikit sekali dan sering dapat dimengerti karena alasan khusus. Misalnya, Eskimo yang disebut tadi mempunyai kepercayaan, keadaan manusia di alam baka sama seperti saat ia meninggal. Karena itu justru dinilai tidak manusiawi, bila penyakit mereka dibiarkan berkembang sampai kondisinya parah.
Pengecualian serupa itu tidak menghindari kesimpulan bahwa hormat untuk kehidupan manusia bersifat universal. Bahkan rasa hormat itu melampaui batas kematian, karena jenazah manusia selalu dikuburkan. Hewan membiarkan saja bangkai temannya yang mati dalam alam terbuka, tetapi manusia tidak begitu. Para antropolog melaporkan, manusia sudah menguburkan sesamanya setidaknya sejak 100.000 tahun lalu (Neandertaler). Bukankah kebiasaan ini menandakan rasa hormat terhadap manusia melalui jenazah yang merupakan peninggalannya? Serentak juga kubur menjadi tanda peringatan akan manusia yang unik ini.
Semua itu tidak berarti, di “pinggiran” kehidupan tidak bisa timbul dilema-dilema besar. Dan mungkin jalan keluar yang tepat adalah aborsi atau suntikan mematikan. Tetapi motivasinya tidak pernah karena kehidupan muda atau kehidupan sekarat itu tidak bermakna. Mungkin masih bisa diterima, bila dilakukan dengan rasa enggan, sebagai tindakan tak terelakkan. Seandainya tersedia alternatif lebih baik, dokter tidak akan melakukannya. Dengan demikian kehormatan untuk kehidupan tetap dipertahankan. Tetapi jika prinsip ini ditinggalkan, kita menghancurkan kebudayaan kita sendiri.
Penutup:
Cara pandang sebagai orang Kristen?
Pemikiran yang timbul mengenai euthanasia, menurut Robert H. Williams, disebabkan oleh dua hal, yaitu :1. Manusia diberi kemampuan Tuhan untuk berpikir.2. Manusia mempunyai kemampuan mental dan emosi untuk membuat keputusan dan menggunakannya seefektif mungkin.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur.
Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian.
Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

sunti mati mati

sunti mati

Amb Sigit Kristiantoro
KARENA sudah tidak mau lagi melihat penderitaan istrinya, Panca Satrya Hasan Kusuma memohon agar istrinya, Agian Isna Nauli, yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja. Seperti diberitakan Kompas edisi 21 September 2004, ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, menyarankan agar Hasan menyampaikan permohonannya itu kepada pengadilan negeri.
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai eutanasia. Menurut praktisi hukum Todung Mulya Lubis (Kompas, 21 September 2004), eutanasia atau suntik mati terhadap pasien yang sudah tidak memiliki kemampuan mengobati penyakitnya sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Pertanyaannya adalah apakah dimungkinkan adanya terobosan baru dalam hukum berdasarkan kasus-kasus berat, seperti secara medis penyakit sudah tidak bisa lagi disembuhkan, sementara dokter pun sudah angkat tangan?
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Mungkinkah hal seperti itu terjadi di Indonesia?
Kiranya persoalan eutanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan.
Dalam perspektif etika dan moral, alasan yang mendasari mutlaknya kewajiban menghormati hidup manusia tidak lain adalah, pertama, pengakuan martabat manusia sebagai pribadi yang unik, yang memiliki rasionalitas, kehendak, dan kebebasan yang bertanggung jawab serta pribadi yang senantiasa berkembang menuju pada kepenuhan.
Kedua, pengakuan martabat sebagai makhluk sosial yang hidup dalam kebersamaan, saling membantu dan menolong dalam usaha memperkembangkan diri. Oleh karena makna dan tujuan kehidupan bersama itulah muncul kewajiban untuk menghormati kehidupan setiap individunya.
Ketiga, pengakuan nilai hidup jasmani sebagai indikasi mutlak akan kehidupan. Manusia hanya mungkin mengembangkan diri baik secara personal maupun komunal selama ia masih hidup. Demikianlah nilai jasmani merupakan nilai yang mendasari nilai-nilai duniawi lainnya sehingga menuntut konsekuensi untuk mendapatkan prioritas.
Keempat, pengakuan iman kepercayaan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan bahwa hidup adalah karunia-Nya yang sangat berharga dan istimewa. Penilaian moral terhadap eutanasia tentu saja didasarkan pada pengertian istilah eutanasia itu sendiri. Secara umum, eutanasia dibedakan menjadi dua, yaitu eutanasia aktif (positif) dan eutanasia pasif (negatif).
Yang dimaksud dengan eutanasia aktif adalah pemberian obat atau tindakan medis yang bertujuan mempercepat kematian. Eutanasia aktif ini masih dibedakan menjadi dua, yaitu aktif langsung, yang tujuannya memang untuk mengakhiri hidup, dan aktif tidak langsung, di mana obat atau tindakan medis yang diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dengan akibat sampingan dapat mempercepat proses kematian.
Adapun yang dimaksud dengan eutanasia pasif adalah peniadaan pemberian obat atau tindakan medis yang memungkinkan seorang pasien mempertahankan hidup dalam jangka waktu tertentu.
SEBAGAI perbuatan moral, eutanasia aktif langsung tidak pernah dapat dibenarkan karena sama dengan pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan dan dengan demikian sama dengan merampas hak untuk hidup. Dalam pada itu, eutanasia aktif tidak langsung masih dapat dibenarkan.
Sementara itu, eutanasia pasif dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan apabila obat ataupun tindakan medis bagi orang yang bersangkutan maupun bagi yang bertanggung jawab sudah merupakan via extraordinaria (prasarana luar biasa) dan disertai alasan kuat untuk tidak memperpanjang penderitaan.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis.
Sering kali memang indikasi medis, seperti yang dialami istri Hasan yang sudah lumpuh total akibat kerusakan permanen pada otak, dan indikasi ekonomis mengingat semakin membengkaknya kebutuhan dana perawatan yang sangat mahal, dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan eutanasia. Tentu saja hal ini dapat dimaklumi dan diterima mengingat kepastian dari dokter bahwa penyakitnya sudah tidak mungkin disembuhkan, apalagi didukung dengan alasan perekonomian keluarga yang masih menanggung utang sekian puluh juta, tetapi kiranya tetap dipertimbangkan secara matang kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat ditempuh.
Jelas bahwa permohonan eutanasia, yang bertujuan untuk mengakhiri hidup si pasien, dengan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan secara moral karena hal tersebut sama dengan pembunuhan langsung. Bahkan, eutanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.
Mengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan dan pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung maupun tidak kita dapat membantu si pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya. Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

hukum suntik mati

BAB IPENDAHULUAN
Latar BelakangSejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia (Mercy Killing). Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri[1] sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.Pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan kemanusian. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak membolehkan euthanasia beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia.Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alasan perdebatan tersebut adalah masalah legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya tindakan euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis.Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.PermasalahanMenyangkut feomena yang ada akan menimbulkan beberapa permasalahan yang harus kita selesaikan dengan seksama. Dari latar belakang demikian ini penulis mendapatkan beberapa permasalahan yang akan kita bahas dalam bab-bab berikutnya antara lain;-Apakah dimungkinkan adanya terobosan baru dalam hukum berdasarkan kasus-kasus berat, seperti secara medis penyakit sudah tidak bisa lagi disembuhkan, sementara dokter pun sudah angkat tangan?-Mengingat hukum kita menganut positifistik, bagaimana Euthanasia menurut persepektif hukum Pidana Indonesia?
BAB IIPEMBAHASAN
Euthanasia dalam persepektif MedisDalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tenologi di bidang medik, kehidupan seorang pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.Bardasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah,2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar,3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter,Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis. Sehingga denagn hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative dan berikut adalah contoh-contoh tersebut;1. Seseorang yang sedang menderita kangker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus.2. Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri hasan) yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh medis.Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut;1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.Dari contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.Kede etik kedokteran IndonesiaDalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai dengan ilmu kedikteran mutakhir, hukum dan agama.KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan;Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia),Mengenai euthanasia, dapat digunakan dalam tiga arti ;1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir,2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberikan obat penenang,3. Mengakhiri penderitaan dari seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.[2]Adapun unsur-unsur dalam pengertian euthanasia dalam pengertian diatas adalah:1. Berbuat seauatu atau tidak berbuat sesuatu,2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien,3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan,4. Atas permintaan pasien dan keluarganya,5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.Euthanasia dalam persepektif HukumMelihat penderitaan istrinya yang tidak kunjung berakhir, Panca Satrya Hasan Kusuma memohon agar istrinya (Agian Isna Nauli) yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja.Ini merupaka perubahan dalam dinamika masyarakat yang kian mengglobal yang ditandai semakin mudahnya masyarakat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia maka semakin sering masyarakat bersentuhan dengan nilai-nilai asing (di luar kebiasaan/norma-norma komunitasnya).Namun perubahan paradigma berfikir masyarakat bukanlah sebagai arah sebuah kemajuan berfikir, naamun cuma kebingungan dalam berfikir. Hal ini dialami oleh Hasan yang mengajukan euthanasia terhadap istrinya dan hal yang sama juga terjadi pada Siti Zulaekha yang akan diajukan euthanasia oleh keluarganya.Konsepsi EuthanasiaEuthanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan”. Istilah yang sangat populer untuk menyebut jenis pembunuhan ini adalah mercy killing (Tongat, 2003 :44). Sementara itu menurut Kamus Kedokteran Dorland euthanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu kematian yang mudah atau tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan hati, pengakhiran kehidupan seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan dan sangat menyakitkan secara hati-hati dan disengaja.Secara konseptual dikenal tiga bentuk euthanasia, yaitu voluntary euthanasia (euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri karena penyakitnya tidak dapat disembuhkan dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit yang diakibatkannya); non voluntary euthanasia (di sini orang lain, bukan pasien, mengandaikan, bahwa euthanasia adalah pilihan yang akan diambil oleh pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar tersebut jika si pasien dapat menyatakan permintaannya); involuntary euthanasia (merupakan pengakhiran kehidupan pada pasien tanpa persetujuannya).Konstruksi Yuridis EuthanasiaMunculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan “legalitas” inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan regulasi/pengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya.Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia) sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan :“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir ini (kasus Hasan Kesuma yang mengajukan suntik mati untuk istrinya, Ny. Agian dan terakhir kasus Rudi Hartono yang mengajukan hal yang sama untuk istrinya, Siti Zuleha) perlu dicermati secara hukum. Kedua kasus ini secara konseptual dikualifikasi sebagai non voluntary euthanasia, tetapi secara yuridis formal (dalam KUHP) dua kasus ini tidak bisa dikualifikasi sebagai euthanasia sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP. Secara yuridis formal kualifikasi (yang paling mungkin) untuk kedua kasus ini adalah pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan,“ Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.[3]Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan,“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.[4]Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.Euthanasia di Negara lainFenomena euthanasia ini berkembang lagi ketika kasus Nyonya Agian mencuat di permukaan ketika suaminya (Hasan) meminta DPRD Bogor untuk mengagalkan keinginannya untuk meng-eutanasia istrinya tersebut. Banyak orang yang menentang apa yang dilakukan Hasan pada istrinya tersebut,dengan alasan bahwa eutanasia itu bertentangan dengan nilai-nilai etika, moral karena termasuk perbuatan yang merendahkan martabat manusia dan perbuatannya tergolong pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan.Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan euthanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. kapankah hal seperti itu terjadi di Indonesia?Kiranya persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan.Di Negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika tindakan euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi ;“Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan manusia atas permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh tahun”.Sebagai bahan perbandingan. Ternyata di negara inipun melarang adanya eutanasiaProsedur pengajuan Euthanasia di IndonesiaDi Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus yang terakhir yang pengajuan permohonan euthanasia oleh suami Again ke Pengadilan Negeri Jakarta, belum dikabulkan. Dan akhirnya korban yang mengalami koma dan ganguan permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia, dan sebelum permohonan dikabulkan korban sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.Dari kasus diatas kita bisa menangkap prosedur yang harus dilakukan oleh pemihon euthanasia, bahkan hal ini sangat berbeda dengan yang dilakukan di Negara lain yang prosedurnya sangat ketat dan rapi. Sehingga orang akan berfikir untuk melakukan euthanasia.
BAB IIIPENUTUP
A. KesimpulanMengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan dan pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung maupun tidak kita dapat membantu si pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya.Jelas bahwa hukum (pidana) positif di Indonesia belum memberikan ruang bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Tanpa harus mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini urgen untuk disampaikan mengingat berbagai hal. Pertama, munculnya permintaan tindakan medis euthanasia hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran nilai kultural.Penulis menentang dilakukannya euthanasia atas dasar etika, agama, moral dan legal, dan juga dengan pandangan bahwa apabila dilegalisir, euthanasia dapat disalahgunakan. Kelompok pro-euthanasia mungkin akan menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen quality of life, autonomi dan inkonsistensi hukum. Namun demikian, argumen-argumen yang telah dikemukakan di atas lebih kuat. Argumen pertama yaitu secara etika, tugas seorang dokter adalah untuk menyembuhkan, bukan membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan untuk mengakhirinya. Dasar agama adalah argumen berikutnya, di mana dokter percaya kesucian dan kemuliaan kehidupan manusia. Dari segi respek moral, pilihan untuk membunuh, baik orang lain maupun diri sendiri adalah imoral karena merupakan tindak sengaja untuk membunuh seorang manusia. Dari segi legal, seorang dokter yang melakukan euthanasia atau membantu orang yang bunuh diri telah melakukan tindakan melanggar hukum. Argumen terakhir adalah sulitnya untuk melegalisir euthanasia karena sulitnya membuat standar prosedur yang efektif. Lebih jauh lagi, melegalisir voluntary euthanasia dapat mengarah kepada dilakukannya involuntary euthanasia dan membuat orang-orang lemah seperti orang lanjut usia dan para cacat berada dalam risiko. Selanjutnya hal ini juga dapat memberikan tekanan kepada mereka yang merasa diabaikan atau merasa sebagai beban keluarga atau teman. Pengalaman di negeri Belanda telah membuktikan konsep slippery slope.B. SaranApabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.DAFTAR PUSTAKAKristiantoro, Amb Sigit, Eutanasia, Perspektif Moral Hidup.http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/15/ilpeng/1325806.htm Jumat, 15 Oktober 2004Qardhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa Kontemporer . Gema Insani Press.Tongat, Hukum Pidana Materiil. Djambatan. 2003.Soehino, kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Politeia. Bogor._________, The Slippery Slope of Dutch Euthanasia. Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998.Tongat, Euthanasia dalam persepektif hukum pidana di Indonesia.(makalah). Malang. 14 Februari 2005.Suswati, Irma. Euthanasia, (makalah).Malang,14 Februari 2005.­­­­­­­­­­­­­­­­­­­_________, Pemerintah Diminta Bentuk UU Euthanasia, http://cybermed.cbn.net.id/Friday, 5 November 2004 14:14:14 WIB.Wibudi, Aris, Euthanasia.(makalah) http://rudyct.tripod.com/sem2_012/aris_wibudi. ITB. Bogor. 2002Terbarzana, Rina Rehulina, Euthanasia. http://www.myquran.org/. 09 Agustus 2005[1] Biasanya permintaan itu karena seseorang yang dalam keadaan terdesak atau sakit yang sudah sangat parah, sehingga tidak ada lagi harapan untuk memperoleh kesembuhan. Sedangkan dalam pembiayaan (ekonomi) sudah tidak mampu lagi atau korban memiliki keinginan agar dalam hidupnya tidak lagi merepotkan orang lin.[2] Irma Suswati, Euthanasia, (makalah). Malang.14 Februari 2005. hal:4.[3] Lihat dalam Soehino, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia. Politeia. Bogor