Jumat, 17 April 2009

sunti mati

Amb Sigit Kristiantoro
KARENA sudah tidak mau lagi melihat penderitaan istrinya, Panca Satrya Hasan Kusuma memohon agar istrinya, Agian Isna Nauli, yang sudah koma sekitar tiga bulan setelah melahirkan putra keduanya, disuntik mati saja. Seperti diberitakan Kompas edisi 21 September 2004, ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, menyarankan agar Hasan menyampaikan permohonannya itu kepada pengadilan negeri.
Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai eutanasia. Menurut praktisi hukum Todung Mulya Lubis (Kompas, 21 September 2004), eutanasia atau suntik mati terhadap pasien yang sudah tidak memiliki kemampuan mengobati penyakitnya sama dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Pertanyaannya adalah apakah dimungkinkan adanya terobosan baru dalam hukum berdasarkan kasus-kasus berat, seperti secara medis penyakit sudah tidak bisa lagi disembuhkan, sementara dokter pun sudah angkat tangan?
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan. Mungkinkah hal seperti itu terjadi di Indonesia?
Kiranya persoalan eutanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat eutanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan.
Dalam perspektif etika dan moral, alasan yang mendasari mutlaknya kewajiban menghormati hidup manusia tidak lain adalah, pertama, pengakuan martabat manusia sebagai pribadi yang unik, yang memiliki rasionalitas, kehendak, dan kebebasan yang bertanggung jawab serta pribadi yang senantiasa berkembang menuju pada kepenuhan.
Kedua, pengakuan martabat sebagai makhluk sosial yang hidup dalam kebersamaan, saling membantu dan menolong dalam usaha memperkembangkan diri. Oleh karena makna dan tujuan kehidupan bersama itulah muncul kewajiban untuk menghormati kehidupan setiap individunya.
Ketiga, pengakuan nilai hidup jasmani sebagai indikasi mutlak akan kehidupan. Manusia hanya mungkin mengembangkan diri baik secara personal maupun komunal selama ia masih hidup. Demikianlah nilai jasmani merupakan nilai yang mendasari nilai-nilai duniawi lainnya sehingga menuntut konsekuensi untuk mendapatkan prioritas.
Keempat, pengakuan iman kepercayaan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan bahwa hidup adalah karunia-Nya yang sangat berharga dan istimewa. Penilaian moral terhadap eutanasia tentu saja didasarkan pada pengertian istilah eutanasia itu sendiri. Secara umum, eutanasia dibedakan menjadi dua, yaitu eutanasia aktif (positif) dan eutanasia pasif (negatif).
Yang dimaksud dengan eutanasia aktif adalah pemberian obat atau tindakan medis yang bertujuan mempercepat kematian. Eutanasia aktif ini masih dibedakan menjadi dua, yaitu aktif langsung, yang tujuannya memang untuk mengakhiri hidup, dan aktif tidak langsung, di mana obat atau tindakan medis yang diberikan bertujuan untuk mengurangi rasa sakit dengan akibat sampingan dapat mempercepat proses kematian.
Adapun yang dimaksud dengan eutanasia pasif adalah peniadaan pemberian obat atau tindakan medis yang memungkinkan seorang pasien mempertahankan hidup dalam jangka waktu tertentu.
SEBAGAI perbuatan moral, eutanasia aktif langsung tidak pernah dapat dibenarkan karena sama dengan pembunuhan, mengingat kematian menjadi tujuan dan dengan demikian sama dengan merampas hak untuk hidup. Dalam pada itu, eutanasia aktif tidak langsung masih dapat dibenarkan.
Sementara itu, eutanasia pasif dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan apabila obat ataupun tindakan medis bagi orang yang bersangkutan maupun bagi yang bertanggung jawab sudah merupakan via extraordinaria (prasarana luar biasa) dan disertai alasan kuat untuk tidak memperpanjang penderitaan.
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal. Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut. Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan obat atau tindakan medis.
Sering kali memang indikasi medis, seperti yang dialami istri Hasan yang sudah lumpuh total akibat kerusakan permanen pada otak, dan indikasi ekonomis mengingat semakin membengkaknya kebutuhan dana perawatan yang sangat mahal, dijadikan alasan untuk mengajukan permohonan eutanasia. Tentu saja hal ini dapat dimaklumi dan diterima mengingat kepastian dari dokter bahwa penyakitnya sudah tidak mungkin disembuhkan, apalagi didukung dengan alasan perekonomian keluarga yang masih menanggung utang sekian puluh juta, tetapi kiranya tetap dipertimbangkan secara matang kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat ditempuh.
Jelas bahwa permohonan eutanasia, yang bertujuan untuk mengakhiri hidup si pasien, dengan alasan apa pun tidak dapat dibenarkan secara moral karena hal tersebut sama dengan pembunuhan langsung. Bahkan, eutanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah penggunaan sarana via extraordinaria. Jika memang dokter sudah angkat tangan dan memastikan secara medis penyakit tidak dapat disembuhkan serta masih butuh biaya yang sangat besar jika masih harus dirawat, apalagi perawatan harus diusahakan secara ekstra, maka yang dapat dilakukan adalah memberhentikan proses pengobatan dan tindakan medis di rumah sakit.
Mengingat kondisi demikian, yang dibutuhkan kemudian adalah perawatan dan pendampingan, baik bagi si pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung maupun tidak kita dapat membantu si pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun si pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya. Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar