Jumat, 17 April 2009

sunti mati mati

Euthanasia
One of my favorite topics: Euthanasia.
Euthanasia adalah pembunuhan dalam segi medis yang disengaja, dengan aksi atau dengan penghilangan suatu hak pengobatan yang seharusnya didapatkan oleh pasien, agar pasien tersebut dapat meninggal secara wajar. Kata kuncinya adalah disengaja, artinya jika aksi tersebut dilakukan dengan tidak sengaja, maka hal tersebut bukanlah euthanasia.
Aksi ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama kali adalah di negara Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara hukum menyetujui euthanasia. Meskipun begitu, aksi tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan berbagai perhitungan terlebih dahulu.
Ada berbagai macam jenis euthanasia menurut cara melakukannya serta alasan diberlakukan euthanasia itu sendiri, anatara lain:
1. Euthanasia sukarela
Apabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri hidupnya.
2. Euthanasia non-sukarela
Apabila pesien tersebut tidak mengajukan permintaan atau menyetujui untuk diakhiri hidupnhnya.
3. Involuntary Euthanasia
Pada prinsipnya sama seperti euthanasia non-sukarela, tapi pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi.
4. Assisted suicide
Atau bisa dikatakan proses bunuh diri dengan bantuan suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter maka disebut juga, “physician assisted suicide”.
5. Euthanasia dengan aksi
Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan suntik mati.
6. Euthanasia dengan penghilangan
Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan menghentikan semua perawatan khusus yang dibutuhkan seorang pasien. Tujuannya adalah agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar.
Dari beberapa macam jenis euthanasia tersebut, masing-masing negara memiliki idealisme sendiri dalam hal melegalkan aksi euthanasia. Beberapa negara bahkan telah melegalkan aksi euthanasia dengan suntik mati, namun di negara-negara lain hal tersebut adalah melanggar hukum.

Alasan Dilakukan Euthanasia
Euthanasia adalah sebuah aksi pencabutan nyawa seseorang. Karena itu dilakukannya aksi tersebut harus didukung dengan alasan yang kuat. Dari beberapa survey negara dan penyaringan sumber, berikut adalah tiga alasan utama mengapa euthanasia itu bisa dilakukan:
1. Rasa Sakit yang Tidak Tertahankan
Mungkin argumen terbesar dalam konflik euthanasia adalah jika si pasien tersebut mengalami rasa sakit yang amat besar. Namun pada zaman ini, penemuan semakin gencar untuk mengatasi rasa sakit tersebut, yang secara langsung menyebabkan presentase terjadinya “assisted suicide” berkurang.
Euthanasia memang sekilas merupakan jawaban dari stress yang disebabkan oleh rasa sakit yang semakin menjadi. Namun ada juga yang dinamakan “drugged state” atau suatu saat dimana kita tak merasakan rasa sakit apapun karena pengaruh obat.
Karena itulah kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada rasa sakit yang tidak terkendali, namun beberapa pendapat menyatakan bahwa hal tersebut memang bisa dilakukan dengan mengirim seseorang ke keadaan tanpa rasa sakit, tapi mereka tetap harus di-euthanasia-kan karena cara tersebut tidak terpuji.
Hampir semua rasa sakit bisa dihilangkan, adapun yang sudah sebegitu parah bisa dikurang jika perawatan yang dibutuhkan tersedia dengan baik. Tapi euthanasia bukalah jawaban dari skandal tersebut. Solusi terbaik untuk masalah ini adalah dengan meningkatkan mutu para profesional medis dan dengan menginformasikan pada setiap pasien, apa saja hak-hak mereka sebagai seorang pasien.
Meskipun begitu, beberapa dokter tidak dibekali dengan “pain management” atau cara medis menghilangkan rasa sakit, sehingga mereka tidak tahu bagaimana harus bertindak apabila seorang pasien mengalami rasa sakit yang luar biasa. Jika hal ini terjadi, hendaklah pasien tersebut mencari doketr lain. Dengan catatan dokter tersebut haruslah seseorang yang akan mengontrol rasa sakit itu, bukan yang akan membunuh sang pasien. Ada banyak spesialis yang sudah dibekali dengan keahlian tersebut yang tidak hanya dapat mengontrol rasa sakit fisik seseorang, namun juga dapat mengatasi depresi dan penderitaan mental yang biasanya mengiringi rasa sakit luar biasa tersebut.
2. Hak untuk Melakukan Bunuh Diri
Mungkin hal kedua bagi para pro-euthanasia adalah jika kita mengangkat hal paling dasar dari semuanya, yaitu “hak”. Tapi jika kita teliti lebih dalam, yang kita bicarakan di sini bukanlah memberi hak untuk seseorang yang dibunuh, tetapi memberikan hak pada orang yang melakukan pembunuhan tersebut. Dengan kata lain, euthanasia bukanlah hak seseorang untuk mati, tetapi hak untuk membunuh.
Euthanasia bukanlah memberikan seseorang hak untuk mengakhiri hidupnya, tapi sebaliknya, ini adalah persoalan mengubah hukum agar dokter, kerabat, atau orang lain dapat dengan sengaja mengakhiri hidup seseorang.
Manusia memang punya hak untuk bunuh diri, hal seperti itu tidak melanggar hukum. Bunuh diri adalah suatu tragedi, aksi sendiri. Euthanasia bukanlah aksi pribadi, melainkan membiarkan seseorang memfasilitasi kematian orang lain. Ini bisa mengarah ke suatu tindakan penyiksaan pada akhirnya.
3. Haruskah Seseorang Dipaksa untuk Hidup?
Jawabannya adalah tidak. Bahkan tidak ada hukum atau etika medis yang menyatakan bahwa apapun akan dilakukan untuk mempertahankan pasien tetap hidup. Desakan, melawan permintaan pasien, menunda kematian dengan alasan hukum dan sebagainya juga bisa dinilai kejam dan tidak berperikemanusiaan. Saat itulah perawatan lebih lanjut menjadi tindakan yang tanpa rasa kasihan, tidak bijak, atau tidak terdengar sebagai perilaku medis.
Hal yang harus dilakukan adalah dengan menyediakan perawatan di rumah, bantuan dukungan emosional dan spiritual bagi pasien dan membiarkan sang pasien merasa nyaman dengan sisa waktunya.
Sejarah Euthanasia
Sekitar tahun 400 sebelum Masehi, sebuah sumpah yang terkenal dengan sebutan “The Hippocratic Oath” yang dinyatakan oleh seorang Fisikawan Hipokratis Yunani, dengan jelas mengatakan:
“Saya tidak akan memberikan obat mematikan pada siapapun, atau menyarankan hal tersebut pada siapapun.”- The Hippocratic Oath
Sekitar abad ke-14 sampai abad ke-20, Hukum Adat Inggris yang dipetik oleh Mahkamah Agung Amerika tahun 1997 dalam pidatonya:
“Lebih jelasnya, selama lebih dari 700 tahun, orang Hukum Adat Amerika Utara telah menghukum atau tidak menyetujui aksi bunuh diri individual ataupun dibantu.” - Chief Justice Rehnquist
Tahun 1920, terbitnya buku berjudul “Permitting the Destruction of Life not Worthy of Life”. Dalam buku ini, Alfred Hoche, M.D., Dosen Psikologi dari Universtas Freiburg, dan Karl Binding, Dosen Hukum dari Universitas Leipzig, memperdebatkan bahwa seorang pasien yang meminta untuk diakhiri hidupnya harus, dibawah pengawasan ketat, dapat memperolehnya dari seorang pekerja medis. Buku ini men-support euthanasia non-sukarela yang dilakukan oleh Nazi Jerman
Tahun 1935, The Euthanasia Society of England, atau Kelompok Euthanasia Inggris, dibentuk sebagai langkah menyetujui euthanasia.
Tahun 1939, Nazi Jerman memberlakukan euthanasia secara non-sukarela. Hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
Tahun 1955, Belanda sebagai negara pertama yang mengeluarkan Undang-Undang yang menyetujui euthanasia, dan diikuti oleh Australia yang melegalkannya di tahun yang sama.
Setelah dua negara itu mengeluarkan undang-undang yang sah tentang euthanasia, beberapa negara masih menganggapnya sebagai konflik, namun ada juga yang ikut mengeluarkan undang-undang yang sama. Hal ini akan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya.
Bagaimana Ilmu Pengetahuan Mendefinisikan Kematian
Sebuah teori yang berbahaya jika kematian dianggap sesuatu yang ambigu. Dan jika suatu telaah massa membuktikan bahwa euthanasia bukanlah musuh masyarakat, melainkan sesuatu yang dapat menyelamatkan seseorang dari penderitaan yang amat sangat.
Menurut penelitian terakhir yang dilakukan oleh Dr. James Dubois dari Universitas Saint Louis dan Tracy Schmidt dari Intermountain Donor Service, hampir 84% dari seluruh warga Amerika setuju dengan pendapat bahwa seseorang dapat dikatakan mati apabila yang membuatnya tetap bernafas adalah obat-obatan dan mesin medis, dan 60% setuju dengan pernyataan bahwa seseorang dapat mati meskipun jantungnya masih berdetak. Dari survey tersebut, 70% dari antaranya berasal dari golongan beragama.
Konsep medis dari “kematian otak” telah berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1968 bersamaan dengan revolusi dari penelitian tentang transplantasi organ tubuh. Seperti dijelaskan oleh M.L. Tina Stevens dalam Bioetik Amerika (2000), semakin maraknya kasus transplantasi organ sebenarnya diawali dari penyumbangan besar secara medis untuk penelitian Biomedis federal sebelum Perang Dunia ke-II. Hasil dari semua itu datang seiring dengan berkembangnya teknologi medis seperti sistem respirasi mekanis, dan genetic screening, semuanya mendatangkan efek pada bentuk obat-obat modern, meningkatkan pertanyaan-pertanyaan baru tentang hidup dan mati baik untuk pasien maupun dokter.
“Transplantasi adalah contoh klasik dari investigasi therapeutic,” begitu kata Thomas Starzl, seorang ahli bedah transplantasi. “Apa yang dilakukan dalam transplantasi jaman dulu kadang-kadang terbilang bodoh tapi tidak hina.” Yang mendorong para perintis bedah transplantasi ini adalah satu keinginan untuk tidak meninggalkan satu tempat pun untuk eksperimen yang tidak dicoba.
Pada awalnya, bedah transplantasi tidak berhasil dengan tujuannya untuk memindahkan organ tubuh dari pasien yang telah meninggal ke pasien yang masih hidup. Tapi beberapa dokter percaya mereka bisa mendapatkan organ yang bisa ditransplantasi dari orang mati suri, yang masih dikatakan hidup sampai waktu tertentu dalam standar medis. Kematian otak, menawarakan solusi yang memungkinkan. Juga menyebabkan sebuah perubahan dalam pemikiran tentang hukum kematian.
Nazi Euthanasia
Pada bulan Oktober tahun 1939, ditengah-tengah kekacauan Perang Dunia ke-II, Hitler memerintahkan ke seluruh wilayah jajahannya untuk membunuh orang-orang yang menderita sakit atau cacat.
Dengan kode “Aktion T 4″, program Nazi Euthanasia adalah untuk menghilangkan keberadaan “orang-orang yang tidak pantas untuk hidup lagi”. Pada awalnya hanya difokuskan pada bayi yang baru lahir dan anak-anak yang masih sangat kecil. Para dokter dan ibu rumah tangga diperintahkan untuk mendaftarkan anak-anak dibawah tiga tahun kepada pemerintah Jerman. Kemudian, keputusan untuk membiarkan anak tersebut hidup atau tidak diambil oleh tiga ahlis medis tanpa pemeriksaan maupun memperhatikan hasil kesehatan anak tersebut.
Tiap ahli medis menambah tanda (+) dengan pensil merah atau tanda (-) dengan pensil biru di setiap lembar kasus para anak-anak tersebut. Tanda (+) merah berarti keputusan untuk membunuh anak tersebut, dan tanda (-) biru berarti keputusan untuk membiarkannya hidup. Jika tiga tanda (+) merah telah dikeluarkan, maka anak tersebut akan dikirim ke Departemen Khusus Anak di mana mereka akan menerima kematian dengan suntik mati atau dengan cara dibiarkan mati kelaparan.
Program Nazi Euthanasia akhirnya berkembang dengan menyertakan anak-anak yang lebih tua yang memiliki cacat juga para orang dewasa. Putusan Hitler pada bulan Oktober 1939, menyatakan “pemberian hak untuk para ahli medis tertentu untuk memberikan euthanasia pada orang-orang yang tidak dapat disembuhkan lagi.” Putusan tersebut disebarkan ke seluruh rumah sakit dan tempat medis lainnya.
Sejumlah enam tempat pembunuhan telah ditentukan, termasuk sebuah gedung klinik psikiatri yang terkenal di Hadamar. Di Bradenburg, tempat yang dulunya adalah sebuah penjara, dirubah menjadi tempat pembunuhan di mana Nazi melakukan eksperimen pertamanya dengan gas beracun. Di dalamnya terdapat kamar gas yang terhubung dengan pipa karbon monoksida beracun yang akan menewaskan orang di dalamnya.
Pasien-pasien yang akan menerima euthanasia dibius terlebih dahulu sebelum ditelanjangi dan dimasukkan ke dalam kamar gas. Setiap tempat pembunuhan tersebut dilengkapi dengan krematorium di mana mayat-mayat dari kamar gas akan dibuang. Pihak keluarga akhirnya datang dan mengambil sendiri tubuh anggota keluarganya yang sudah tak bernyawa.
Sebagai hasilnya, pada tanggal 23 Agustus, Hitler menghentikan “Aktion T 4″, yang telah mengambil nyawa ratusan ribu orang. Namun bagaimanapun juga, program Nazi euthanasia secara diam-diam terus berlanjut, tapi bukan dengan menggunakan gas beracun, melainkan dengan menggunakan obat-obat dan dibiarkan kelaparan.
Tempat-tempat pembunuhan tersebut akhirnya dijadikan sebagai tempat eksperimen bagi para ahli medis. Mereka menggunakan keahlian dan pengetahuan mereka untuk membangun tempat pembunuhan baru di Auschwitz, Treblinka dan tempat-tempat pusat jajahan dengan tujuan untuk menghabisi seluruh orang Yahudi yang ada di Eropa. Sebagai contoh, di negara Polandia, salah satu negara yang paling merasakan penderitaan saat kedatangan Nazi Jerman. Negara tersebut pada awalnya memiliki sekitar 700.000 penduduknya yang merupakan orang Yahudi. Namun setelah Nazi datang, dan melakukan pendudukan besar-besaran, jumlah orang Yahudi di sana yang bertahan hanya sekitar 10.000 orang.
Euthanasia Sama dengan Aborsi
Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa negara.
Dalam diskusi-diskusi tentang masalah euthanasia dan aborsi, kini prinsip kesucian kehidupan mulai dikritik. Nama-nama yang terkenal di antara kritisi itu adalah Peter Singer dan Helga Kuhse, dan etikawan terkemuka di Australia. Mereka berpendapat, faham kesucian kehidupan berasal dari suasana pemikiran moral Kristen dan karena itu tidak boleh diberlakukan untuk semua orang. Di tengah berlangsungnya sekularisasi kini, pengaruh agama Kristen sebagai pegangan moral makin berkurang dan makin banyak orang menempuh alur pemikiran moral yang lain.
Dalam bukunya Practical Ethics (edisi ke-2, 1993, hlm 173) Peter Singer menandaskan, “the doctrine of the sanctity of human life… is a product of Christianity. Perhaps it is now possible to think about these issues without assumsing the Christian moral framework that has, for so long, prevented any fundamental reassessment”. Peter Singer sendiri menerapkan pendapat ini bukan saja atas masalah euthanasia dan aborsi, namun juga dalam anggapannya yang amat kontroversial tentang kemungkinan mengakhiri kehidupan bayi cacat berat yang baru lahir. Dengan demikian ia memperluas diskusi tentang masalah aborsi sampai ke infanticide (pembunuhan anak kecil), yang dalam masyarakat pra-Kristen-Yunani Kuno dan kekaisaran Roma, umpamanya-memang sering dipraktikkan.
Dalam tulisan ini tentu tidak mungkin membahas topik ini sampai tuntas. Kita akan membatasi diri pada beberapa catatan saja.
Pertama, benar agama Kristen merasa dirinya tertarik dengan pengertian “kesucian kehidupan”. Dan hal itu tidak berlaku untuk agama Kristen saja tetapi untuk agama umumnya dan khususnya untuk ketiga agama “Ibrahimik”: Jahudi-Kristiani-Islam. Mengapa begitu? Karena agama-agama ini mempunyai konsepsi jelas tentang kehidupan yang diciptakan Tuhan dan kedudukan istimewa manusia di antara makhluk-makhluk hidup yang lain. Tidak bisa dipungkiri, pandangan agama amat cocok dengan “kesucian kehidupan”.
Kedua, barangkali benar agama juga ikut menciptakan faham “kesucian kehidupan” ini, dan membantu memperkuat posisinya dalam pandangan moral. Tetapi dalam hal ini kontribusi agama tidak bisa dipisahkan dari pengaruh-pengaruh lain. Kemungkinan besar, agama memberi kontribusi juga dalam penolakan lembaga perbudakan, dalam pengembangan hak asasi manusia dan demokrasi, dan dalam banyak hal lain lagi. Pandangan moral kita kini di bidang sosial-politik merupakan buah perkembangan panjang, di mana antara lain agama berperanan juga.
Ketiga dan terpenting, rupanya khusus dalam etika profesi medis pengertian “kesucian kehidupan” mempunyai akar lebih mendalam daripada agama Kristen saja. Pengertian ini sudah terbentuk sejak permulaan pertama etika profesi medis, yaitu Sumpah Hippokrates. Hippokrates (abad ke-5/ke-4 SM) yang dijuluki “bapak ilmu kedokteran” bukan saja memberi dasar ilmiah kepada profesi kedokteran, namun juga menyediakan pandangan moral yang teguh bagi profesi ini. Melalui Sumpah Hippokrates ia membuat profesi medis menjadi profesi pertama yang memiliki suatu ethos khusus. Dalam Sumpah Hippokrates ada tiga kalimat pendek, “Aku tidak akan memberikan obat yang mematikan kepada siapa pun bila orang memintanya, dan juga tidak akan menyarankan hal serupa itu. Demikian juga aku tidak akan memberikan kepada seorang wanita sarana abortif (pesson phthoron). Dalam kemurnian dan kesucian akan kujaga kehidupan dan seniku”.
Tiga kalimat pendek ini bisa dilihat sebagai awal tradisi anti-euthanasia dan anti-aborsi dalam ethos profesi medis. Euthanasia dalam arti kini tentu belum lama dikenal. Tetapi larangan untuk memberi racun telah mengembangkan tradisi anti-pembunuhan dalam profesi kedokteran. Menurut hakikatnya, profesi ini harus memperjuangkan kehidupan dan tidak pernah memihak kematian. Sebaliknya, praktik aborsi sudah dikenal sepanjang sejarah. Dalam masyarakat Yunani kuno sekitar Hippokrates aborsi malah diterima sebagai hal lumrah. Tetapi, sejak Hippokrates profesi medis mengembangkan suatu sikap anti-aborsi yang berlangsung terus sampai zaman modern.
Faham “kesucian kehidupan” itu sendiri belum ditemukan dalam sumpah Hippokrates. Tetapi, bila kalimat ketiga tadi langsung boleh dikaitkan dengan kalimat pertama dan kedua, maka “kemurnian dan kesucian” profesi medis itu berhubungan dengan hormat atas kehidupan yang diperintahkan kalimat pertama dan kedua. Kalau begitu, “kesucian kehidupan” adalah faham yang mudah bisa muncul.
Ada tanda-tanda lain lagi yang menunjukkan kuatnya tradisi kesucian kehidupan. Jika anjing kita sakit dan tidak bisa disembuhkan, tanpa ragu-ragu kita menganggap lebih baik membunuhnya. Hal itu sudah dipraktikkan. Yang baru hanya bahwa kini kita memakai jasa dokter hewan. Hewan kita bunuh untuk membebaskannya dari penderitaan. Tetapi, kalau manusia, biar pun penderitaannya besar, menurut penilaian umum cara ini tidak boleh dipakai. Perbedaan ini cukup mencolok dan berlaku secara universal. Bagi manusia tidak ada mercy killing seperti bagi hewan. Memang benar, dalam sejarah ditemukan beberapa pengecualian.
Contoh dikenal adalah beberapa kelompok Eskimo yang mempunyai kebiasaan membunuh orang tua, jika mereka mulai menginjak usia tua dan memperlihatkan gejala kelemahan atau penyakit. Tetapi dalam seluruh peradaban manusia contoh-contoh seperti itu sedikit sekali dan sering dapat dimengerti karena alasan khusus. Misalnya, Eskimo yang disebut tadi mempunyai kepercayaan, keadaan manusia di alam baka sama seperti saat ia meninggal. Karena itu justru dinilai tidak manusiawi, bila penyakit mereka dibiarkan berkembang sampai kondisinya parah.
Pengecualian serupa itu tidak menghindari kesimpulan bahwa hormat untuk kehidupan manusia bersifat universal. Bahkan rasa hormat itu melampaui batas kematian, karena jenazah manusia selalu dikuburkan. Hewan membiarkan saja bangkai temannya yang mati dalam alam terbuka, tetapi manusia tidak begitu. Para antropolog melaporkan, manusia sudah menguburkan sesamanya setidaknya sejak 100.000 tahun lalu (Neandertaler). Bukankah kebiasaan ini menandakan rasa hormat terhadap manusia melalui jenazah yang merupakan peninggalannya? Serentak juga kubur menjadi tanda peringatan akan manusia yang unik ini.
Semua itu tidak berarti, di “pinggiran” kehidupan tidak bisa timbul dilema-dilema besar. Dan mungkin jalan keluar yang tepat adalah aborsi atau suntikan mematikan. Tetapi motivasinya tidak pernah karena kehidupan muda atau kehidupan sekarat itu tidak bermakna. Mungkin masih bisa diterima, bila dilakukan dengan rasa enggan, sebagai tindakan tak terelakkan. Seandainya tersedia alternatif lebih baik, dokter tidak akan melakukannya. Dengan demikian kehormatan untuk kehidupan tetap dipertahankan. Tetapi jika prinsip ini ditinggalkan, kita menghancurkan kebudayaan kita sendiri.
Penutup:
Cara pandang sebagai orang Kristen?
Pemikiran yang timbul mengenai euthanasia, menurut Robert H. Williams, disebabkan oleh dua hal, yaitu :1. Manusia diberi kemampuan Tuhan untuk berpikir.2. Manusia mempunyai kemampuan mental dan emosi untuk membuat keputusan dan menggunakannya seefektif mungkin.
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan, yaitu memperpendek umur.
Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian.
Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar